"Dengan tarif 0 persen atas dua komoditas tesebut, maka produsen Indonesia akan mendapatkan harga lebih murah. Seperti kedelai yang selama ini dikeluhkan pengusaha tahu tempe yang harganya mahal, maka dengan tarif 0 persen mereka bisa mendapatkan kedelai dengan harga lebih murah,” ucapnya.
Sementara terkait impor energi yang lebih besar dari AS, menurut Syarkawi, akan membuat Indonesia memiliki produsen alternatif selain dari Timur Tengah dan Afrika. “Tinggal pengalihan pembelian saja sebenarnya dari Timur Tengah ke AS. Jadi, tidak ada pengaruhnya bagi kebutuhan impor energi Indonesia," kata dia.
Mengenai kekhawatiran bahwa harga impor BBM dan LNG akan lebih mahal dari AS karena rute pengirimannya lebih jauh. "Dengan volume pembelian lebih besar tentu biaya logistiknya akan lebih murah. Tinggal nanti pembicaraan B to B saja antara Pertamina denga produsen energi AS," ujarnya.
Ia menilai syarat RI harus mengimpor produk energi, pertanian, hingga pesawat dari AS, sebenarnya mekanisme perdagangan yang biasa berlaku. Apalagi selama ini, katanya, Indonesia sejak lama sudah melakukan impor produk dari AS.
"RI sudah impor energi dari Negeri Paman Sam sejak dulu, dimana nilai impor energi dari AS lebih USD15 miliar tahun lalu. Artinya, semua yang kita impor selama ini tetap dari Amerika, tapi akan lebih murah di Indonesia dan menguntungkan perusahaan dan konsumen Indonesia karena tarifnya impornya 0 persen," kata Syarkawi mengakhiri perbincangan. dilansir rri.co.id