SHARE

Istimewa

CARAPANDANG - Fenomena kenaikan mata uang Amerika Serikat (AS), dolar, terhadap sejumlah mata uang dunia membawa bahaya bagi perekonomian Negeri Paman Sam itu. Hal ini terkait dengan persaingan dagang produk-produk dalam negeri AS dengan negara lain.

Dolar telah meningkat sebesar 4% tahun ini. Fundamentalnya menunjukkan apresiasi lebih lanjut.

Hal ini dapat berdampak buruk bagi para pelaku usaha di AS. Rendahnya nilai mata uang negara-negara Asia seperti yuan China akan membuat produk Negeri Tirai Bambu lebih terjangkau di negara adidaya itu.

"Dolar yang kuat cenderung menaikkan harga ekspor Amerika dan menurunkan harga impor, yang akan memperluas cakupan negara defisit perdagangan yang berkepanjangan," tulis The Economist dikutip Kamis (25/4/2024).

Di tempat lain, penguatan dolar membawa kabar baik bagi eksportir yang memiliki biaya didenominasi dalam mata uang lain. Namun suku bunga Amerika yang tinggi dan dolar yang kuat menimbulkan inflasi impor, yang kini diperburuk oleh harga minyak yang relatif tinggi.

Melawan meroketnya dolar

Banyak negara memiliki cadangan devisa yang cukup besar dan dapat dijual untuk memperkuat mata uang mereka. Tercatat, Jepang memiliki US$ 1,3 triliun, India US$ 643 miliar, dan Korea Selatan US$ 419 miliar.

Namun, keringanan apa pun hanya bersifat sementara. Ini juga diyakini sejumlah bank sentral dunia, yang terbukti tidak melakukan apa-apa saat The Fed mulai menaikkan suku bunga pada 2022 lalu.

Pilihan lainnya adalah koordinasi internasional untuk menghentikan kenaikan dolar. Awal dari hal ini terlihat pada tanggal 16 April, ketika menteri keuangan Amerika, Jepang, dan Korea Selatan menyatakan keprihatinannya terhadap kemerosotan yen dan won.

Dolar, China, dan Pemilu AS

AS akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu) pada tahun ini. Baik Partai Demokrat maupun Republik bertekad untuk mempromosikan manufaktur Amerika.

Namun tugas itu akan sulit. Dolar yang tinggi tidak akan dapat membendung impor yang tinggi dari negara-negara seperti China.

Sebagian pihak menilai China tidak akan berbuat begitu banyak. Menurut Goldman Sachs, China mengalami arus keluar valuta asing sebesar US$ 39 miliar pada bulan Maret karena investor meninggalkan negara tersebut akibat perekonomian yang lesu.

Yuan terus melemah terhadap dolar sejak awal tahun, dan lebih cepat sejak pertengahan Maret, sejak dolar meningkat dari 7,18 yuan menjadi 7,25 yuan. Bank of America memperkirakan akan mencapai 7,45 pada bulan September, ketika kampanye pemilu Amerika sedang berlangsung.

Hal ini akan menempatkan yuan pada posisi terlemahnya sejak tahun 2007, sehingga memberikan dorongan bagi upaya ekspor terbaru pemerintah China. Kendaraan listrik China yang murah mungkin akan menjadi lebih murah lagi, sehingga membuat pusing para politisi Amerika.

Pendukung kebijakan proteksionis di AS kemungkinan akan mengabaikan tekanan atas mata uang sekutunya, setidaknya untuk sementara waktu.

Namun tidak ada toleransi untuk China. Hal ini meningkatkan risiko perang tarif dan sanksi dagang lebih lanjut. Bahkan China bisa dimasukkan kembali ke daftar negara yang dinilai memanipulasi mata uangnya.

Selama perekonomian Amerika terus membaik, dolar kemungkinan akan tetap kuat. Selain itu, selama pemerintah AS memandang hal ini sebagai hal yang perlu diwaspadai, ketegangan perdagangan akan meningkat. dilansir cnbcindonesia.com

Tags
SHARE