Di luar upacara resmi, para demonstran antimiliter berkumpul di dekat lokasi ledakan bom atom. Spanduk-spanduk yang mereka bawa mengecam peningkatan anggaran pertahanan Jepang dan kemungkinan adanya kerja sama "berbagi" nuklir dengan AS.
Mereka ditempatkan di luar area acara resmi oleh polisi antihuru-hara, sementara aktivis sayap kanan berusaha membungkam suara mereka dengan pengeras suara.
Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba, dalam pidatonya pada upacara tersebut, menegaskan kembali komitmen Jepang terhadap "Tiga Prinsip Non-Nuklir" (Three Non-Nuclear Principles) Jepang. Wali Kota Hiroshima Kazumi Matsui mengimbau kepada masyarakat untuk mengingat kehancuran akibat senjata nuklir dan meneruskan idealisme perdamaian.
Kendati demikian, tidak ada satu pun dari pejabat itu yang menyebutkan konteks historis di balik pengeboman Hiroshima.
Pada 6 dan 9 Agustus 1945, AS menjatuhkan bom atom masing-masing di Hiroshima dan Nagasaki guna mempercepat penyerahan diri Jepang dalam Perang Dunia II. Selama beberapa dekade, pemerintah Jepang telah menghindari pengakuan atas perannya dalam perang agresi tersebut, dan justru lebih menampilkan dirinya sebagai korban bom atom. Mereka juga tak banyak menyebut soal penderitaan yang ditimbulkannya terhadap China dan negara-negara Asia lainnya selama Perang Dunia II.